Polemik Kriminalisasi Konsumen: Saat Kritik ke Layanan Publik Dianggap Sebagai Perbuatan Pidana
Dalam era digital seperti sekarang ini, konsumen memiliki berbagai saluran untuk menyuarakan keluhannya terhadap produk atau layanan, baik melalui media sosial, ulasan daring, maupun platform aduan resmi. Namun, dalam beberapa kasus, konsumen justru dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik karena menyampaikan keluhan secara terbuka. Fenomena ini menimbulkan keresahan sekaligus polemik: apakah kritik terhadap layanan publik atau swasta bisa dikriminalisasi?
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Artinya, menyampaikan kritik atau pengalaman negatif merupakan bagian dari hak konsumen yang dilindungi hukum.
Namun, dalam praktiknya, pasal-pasal pencemaran nama baik dalam KUHP dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kerap digunakan oleh pelaku usaha untuk melaporkan konsumen. Misalnya, Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Permasalahan utama terletak pada interpretasi hukum oleh penegak hukum yang tidak membedakan antara kritik konstruktif dan fitnah. Kritik yang berdasarkan fakta dan disampaikan secara wajar seharusnya tidak dianggap sebagai pencemaran nama baik. Selain itu, penggunaan pasal karet seperti yang terdapat dalam UU ITE juga membuka ruang kriminalisasi terhadap konsumen yang seharusnya dilindungi.
Dalam penyelesaian sengketa konsumen, seharusnya digunakan pendekatan yang berimbang dan proporsional. Lembaga seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau mediasi oleh Kementerian Perdagangan seharusnya menjadi sarana utama, bukan jalur pidana. Perlindungan hukum terhadap konsumen perlu diperkuat dengan pembaruan regulasi dan penegakan hukum yang objektif.
0 Komen